Kantor aja nggak punya, apalagi jam kantor. Konsekuensinya ada dua: libur sesukanya dan kerja melebihi jam kantor. Yang bagus, keduanya sama-sama bisa dikompromikan. Makanya kita bisa libur ketika diperlukan atau kerja siang malem ngejar target. Kelemahannya adalah, kita harus tau kapan waktunya bekerja kalau nggak kebawa males.
Di luar mengejar target, lama-lama butuh juga menjadualkan ke Kranji secara rutin meskipun tidak setiap hari senin sampai jumat. Tujuannya untuk cek surat-surat masuk, faks atau kiriman barang. Akhinya, kami yang di Jakarta punya hari kantor.
Awalnya aku dateng setiap sabtu, seminggu sekali dengan pertimbangan kalau sabtu jalan ke Bekasi nggak terlalu macet. Tapi Butet sempet komplain, kadang-kadang pengen juga istirahat pas kantor lain juga libur. Oke… hari kantor pun disesuaikan lagi.
Akhir 2006, Hani yang sempet cuti panjang balik lagi. Karena punya tanggungan si kecil Kiki, dia nggak mungkin ke lapangan. Jadilah dia pengurus kantor, kalau mau keren Office Manager. Apalagi rumahnya juga daerah Bekasi, meski jauh ke timur.
Kembalinya Hani seiring rencana memaksimalkan kinerja kantor pusat yang seharusnya menjadi otak dari seluruh kegiatan Sokola. Maka, kami pun mengatur hari kantor. Disepakati dua kali seminggu, hari rabu dan jumat. Tapi itupun bisa disesuaikan kebutuhan. Kalau emang nggak ada yang dikerjain di kantor dan lagi sepi kegiatan di Jakarta, bisa aja cukup sekali seminggu. Tapi kalau pas ada kegiatan, atau misalnya ada murid atau volunteer lapangan yang dateng, bisa juga kami tiap hari main ke Kranji. Itu juga nggak kerja di belakang meja. Kadang ngobrol temu kangen, atau rapat kecil, atau ngerjain sesuatu.
Sabtu, 22 Maret 2008
Tidak (perlu) Punya Kantor
Tiba-tiba kami berkumpul di Jakarta, berjuang di Jakarta. Harus diakui, berada di Jakarta membawa lebih banyak kesempatan untuk bertemu orang, lembaga lain termasuk funding, media dan lain-lain. Lebih strategis. Tempat ngumpul bisa dipastikan rumah Butet di Kranji dengan kondisi penghuni rumah yang menyambut kami dengan baik (mungkin juga terpaksa, karena kami yang nggak tau malu. Hehehehe…). Kami bisa leluasa menginap dan memakai fasilitas rumah. Maka ketika ada orang bertanya alamat surat kami, diberikanlah alamat Kranji. Otomatis kami pun berkantor di sana.
Kami pernah mempertimbangkan punya kantor di Jakarta, tapi itu artinya kita harus menganggarkan biaya kontrak rumah di Jakarta yang pasti mahal. Belum bayar listrik, telepon, air dan maintenance rumah yang lain. Belum belanja dapurnya. Dan sayang juga kalau udah punya kantor tapi lebih sering sepi karena kami semua banyak di lapangan. Di Jakarta pun, banyak jalan ketemu orang dan mengurus ini itu… Okelah, kami tidak perlu punya kantor.
Kami pernah mempertimbangkan punya kantor di Jakarta, tapi itu artinya kita harus menganggarkan biaya kontrak rumah di Jakarta yang pasti mahal. Belum bayar listrik, telepon, air dan maintenance rumah yang lain. Belum belanja dapurnya. Dan sayang juga kalau udah punya kantor tapi lebih sering sepi karena kami semua banyak di lapangan. Di Jakarta pun, banyak jalan ketemu orang dan mengurus ini itu… Okelah, kami tidak perlu punya kantor.
Kantor Pusat Jakarta
Sebenernya bukan kantor pusat, tapi sekretariat. Itupun juga bukan ruang yang formal. Sebenernya juga bukan Jakarta, tapi Kranji – Bekasi.
Kantor kami adalah ruang tamu rumah keluarga Butet. Selain ruang itu, mau nggak mau kami pakai fasilitas rumah yang lain seperti kamar mandi, dapur, bahkan kamar tidur karena banyak teman-teman yang nggak punya tempat tinggal pas transit di Jakarta. Jadilah dua kamar dipakai. Kami beri nama kamar cewek dan kamar cowok yang letak pintunya berseberangan.
Aku inget,di rapat besar tim Sokola Juli 2006 di halaman belakang rumah Kranji. Waktu kami membahas mimpi, Dedi yang latar belakang ilmunya arsitektur bilang ingin mendisain kantor Sokola. Mak Dalton (mama Butet) yang kebetulan lewat langsung berucap, ya udah, mulai aja renovasi rumah ini…
Artinya kami sepakat, rumah kranji ini adalah kantor Sokola. Semoga Mak Dalton dan penghuni rumah yang lain tidak keberatan… Maaf, merepotkan, hihihi… Dan pada rapat awal tahun 2008 kemarin, kami mulai menabung dana untuk renovasi garasi. Nantinya, lantai dua garasi yang akan menjadi markas Sokola. Jadi tidak akan terlalu mengganggu aktivitas di dalam rumah inti. Yang jelas ada akses langsung ke kehidupan, kata Dodi, yaitu air (kamar mandi) dan makanan (dapur) tanpa perlu melewati ruang keluarga seperti saat ini, ketika kantor kami masih mengambil ruang tamu rumah ini.
Di bagian atas garasi rencananya akan dibikin semacam dak atau loteng, untuk meletakkan barang-barang kami yang mulai bejibun banyaknya. Peralatan lapangan, arsip dan data, buku dan juga barang-barang sumbangan orang. Banyangkan saja, kami pernah dapat 60 gulung kain sisa seragam Bank Danamon untuk mendukung program menjahit di Aceh. Kemarin dapat puluhan ensiklopedi Nusantara dari Indofood. Sebelum didistribusikan ke lapangan, tentu saja barang-barang itu nongkrong di ruang kantor yang luasnya cuma sekitar 3x3 meter persegi. Beberapa bulan terakhir, ruang kantor dipenuhi kardus-kardus buku Sokola Rimba untuk dijual di rangkaian acara bedah buku kami, lalu ada kiriman produk Eiger yang mensponsori kegiatan kami, merchandise Sokola, dan lain-lain. Ini kantor dan juga gudang… Hehehe…
Kantor kami adalah ruang tamu rumah keluarga Butet. Selain ruang itu, mau nggak mau kami pakai fasilitas rumah yang lain seperti kamar mandi, dapur, bahkan kamar tidur karena banyak teman-teman yang nggak punya tempat tinggal pas transit di Jakarta. Jadilah dua kamar dipakai. Kami beri nama kamar cewek dan kamar cowok yang letak pintunya berseberangan.
Aku inget,di rapat besar tim Sokola Juli 2006 di halaman belakang rumah Kranji. Waktu kami membahas mimpi, Dedi yang latar belakang ilmunya arsitektur bilang ingin mendisain kantor Sokola. Mak Dalton (mama Butet) yang kebetulan lewat langsung berucap, ya udah, mulai aja renovasi rumah ini…
Artinya kami sepakat, rumah kranji ini adalah kantor Sokola. Semoga Mak Dalton dan penghuni rumah yang lain tidak keberatan… Maaf, merepotkan, hihihi… Dan pada rapat awal tahun 2008 kemarin, kami mulai menabung dana untuk renovasi garasi. Nantinya, lantai dua garasi yang akan menjadi markas Sokola. Jadi tidak akan terlalu mengganggu aktivitas di dalam rumah inti. Yang jelas ada akses langsung ke kehidupan, kata Dodi, yaitu air (kamar mandi) dan makanan (dapur) tanpa perlu melewati ruang keluarga seperti saat ini, ketika kantor kami masih mengambil ruang tamu rumah ini.
Di bagian atas garasi rencananya akan dibikin semacam dak atau loteng, untuk meletakkan barang-barang kami yang mulai bejibun banyaknya. Peralatan lapangan, arsip dan data, buku dan juga barang-barang sumbangan orang. Banyangkan saja, kami pernah dapat 60 gulung kain sisa seragam Bank Danamon untuk mendukung program menjahit di Aceh. Kemarin dapat puluhan ensiklopedi Nusantara dari Indofood. Sebelum didistribusikan ke lapangan, tentu saja barang-barang itu nongkrong di ruang kantor yang luasnya cuma sekitar 3x3 meter persegi. Beberapa bulan terakhir, ruang kantor dipenuhi kardus-kardus buku Sokola Rimba untuk dijual di rangkaian acara bedah buku kami, lalu ada kiriman produk Eiger yang mensponsori kegiatan kami, merchandise Sokola, dan lain-lain. Ini kantor dan juga gudang… Hehehe…
Jumat, 21 Maret 2008
Malaria Punya Cerita
Paling sedih kalau dapet kabar ada tim yang ambruk sakit. Biasanya malaria. Entah kebetulan atau takdir – tapi aku tidak ingin menyebutnya kutukan – bahwa lokasi-lokasi kerja kami berada di daerah endemik malaria. Pun, kalau tidak endemik malaria, kualitas lingkungannya kurang baik dan menyembunyikan bibit-bibit penyakit seperti di Sekolah Pesisir yang terletak di pesisir kumuh kota Makassar. Memang, pekerjaan ini menuntut stamina atau memang ingin takluk oleh penyakit.
Paling ganas malaria yang didapet di Flores. Dedi dapet malaria pertamanya di sana, padahal sebelumnya dia aman-aman aja di rimba. Malaria Dodi pun berkali-kali kambuh dengan parahnya. Mereka berdua sampai harus dievakuasi dari pulau kecil tempat kami berkegiatan, ke rumah sakit di Maumere. Oce juga kena di sana, padahal dia aman-aman aja dua tahun di rimba. Bahkan Butet yang empat tahun malarianya vakum nggak pernah kambuh pun terpaksa bolak-balik rumah sakit selama tiga bulan. Juga volunteer-volunteer kita lainnya, nggak ada yang lolos dari Malaria. Sedih, kan?
Mungkin namanya bahaya laten. Menggerogoti secara diam-diam. Kitapun coba mengatasinya. Segala informasi tentang penyembuhan malaria pastilah kita sambut baik. Selama ini kita pakai obat-obatan standar: resochin atau vancidar, yang dua-duanya terbukti tidak menghilangkan malaria dari si empunya tubuh. Seperti memelihara alien, kata Dodi, karena malaria rutin mengunjungi tanpa basa-basi apalagi sms dulu sebelumnya.
Obat-obatan alternatif pernah terpikir jadi solusi untuk kita yang berkegiatan di pendidikan alternatif ini, hehehe… Misalnya ramuan resepnya Olif (teman kami di Bandung) yang pake kelapa muda, belimbing wuluh dan sebagainya. Cuma kita nggak telaten bikin ramuan itu, soalnya bahan-bahannya tidak memungkinkan dibuat oleh orang yang seringkali berpindah tempat. Lain lagi ramuan oce, pake kuning telur ayam kampung, merica (harus) tiga butir, sama satu sloki minuman alkohol seperti vodka atau sejenisnya. Jelas Oce menyambut baik, apalagi didukung penuh ama istrinya. Habibi pun sempet ikut-ikutan. Hasilnya, malaria Oce tetep aja kambuh lagi. Hahaha…
Dari berbagai sumber, kita dapet informasi tentang tanaman artemia yang konon ampuh untuk malaria yang sudah resisten sama kina atau resochin. Asalnya dari india dan cina, tapi ati-ati karena banyak yang palsu. Di Indonesia ada yang tanam, tapi ada peraturan daerah yang melarang penggunaannya secara bebas dengan alasan belum ada penelitian ilmiah mengenai itu padahal denger-denger udah diblok ama pabrik obat.
Tanta pernah ngasih kita paket pengobatan tiga hari untuk malaria, obatnya dua macem. Salah satunya artemi itu. Katanya, obat itu diimpor tapi terbatas digunakan oleh tentara kita. Serem kan. Makanya kita banyak berharap obat itu bisa menghajar malaria yang selama ini udah resisten ama resochin.
Dodi yang pertama minum. Lebaran 2006. Katanya langsung teler karena sekali minum 8 pil. Waktu itu dia pulang dari flores dan memang malarianya berkunjung tiap tiga minggu dan terhitung parah (nggak seperti sebelumnya, pas kena di jambi). Tiga bulan setelahnya, Dodi hidup dengan lebih baik tanpa kunjungan malaria. Tapi kok ya tiga bulan aja… abis itu ya tetep aja, malaria rutin berkunjung kayak orang wakuncar (istilahnya jadul banget deh…).
So, komunitas malaria alternatif ini terus berharap dunia kedokteran mampu menemukan obat yang benar-benar ampuh untuk membinasakan alien dalam tubuh ini…
Paling ganas malaria yang didapet di Flores. Dedi dapet malaria pertamanya di sana, padahal sebelumnya dia aman-aman aja di rimba. Malaria Dodi pun berkali-kali kambuh dengan parahnya. Mereka berdua sampai harus dievakuasi dari pulau kecil tempat kami berkegiatan, ke rumah sakit di Maumere. Oce juga kena di sana, padahal dia aman-aman aja dua tahun di rimba. Bahkan Butet yang empat tahun malarianya vakum nggak pernah kambuh pun terpaksa bolak-balik rumah sakit selama tiga bulan. Juga volunteer-volunteer kita lainnya, nggak ada yang lolos dari Malaria. Sedih, kan?
Mungkin namanya bahaya laten. Menggerogoti secara diam-diam. Kitapun coba mengatasinya. Segala informasi tentang penyembuhan malaria pastilah kita sambut baik. Selama ini kita pakai obat-obatan standar: resochin atau vancidar, yang dua-duanya terbukti tidak menghilangkan malaria dari si empunya tubuh. Seperti memelihara alien, kata Dodi, karena malaria rutin mengunjungi tanpa basa-basi apalagi sms dulu sebelumnya.
Obat-obatan alternatif pernah terpikir jadi solusi untuk kita yang berkegiatan di pendidikan alternatif ini, hehehe… Misalnya ramuan resepnya Olif (teman kami di Bandung) yang pake kelapa muda, belimbing wuluh dan sebagainya. Cuma kita nggak telaten bikin ramuan itu, soalnya bahan-bahannya tidak memungkinkan dibuat oleh orang yang seringkali berpindah tempat. Lain lagi ramuan oce, pake kuning telur ayam kampung, merica (harus) tiga butir, sama satu sloki minuman alkohol seperti vodka atau sejenisnya. Jelas Oce menyambut baik, apalagi didukung penuh ama istrinya. Habibi pun sempet ikut-ikutan. Hasilnya, malaria Oce tetep aja kambuh lagi. Hahaha…
Dari berbagai sumber, kita dapet informasi tentang tanaman artemia yang konon ampuh untuk malaria yang sudah resisten sama kina atau resochin. Asalnya dari india dan cina, tapi ati-ati karena banyak yang palsu. Di Indonesia ada yang tanam, tapi ada peraturan daerah yang melarang penggunaannya secara bebas dengan alasan belum ada penelitian ilmiah mengenai itu padahal denger-denger udah diblok ama pabrik obat.
Tanta pernah ngasih kita paket pengobatan tiga hari untuk malaria, obatnya dua macem. Salah satunya artemi itu. Katanya, obat itu diimpor tapi terbatas digunakan oleh tentara kita. Serem kan. Makanya kita banyak berharap obat itu bisa menghajar malaria yang selama ini udah resisten ama resochin.
Dodi yang pertama minum. Lebaran 2006. Katanya langsung teler karena sekali minum 8 pil. Waktu itu dia pulang dari flores dan memang malarianya berkunjung tiap tiga minggu dan terhitung parah (nggak seperti sebelumnya, pas kena di jambi). Tiga bulan setelahnya, Dodi hidup dengan lebih baik tanpa kunjungan malaria. Tapi kok ya tiga bulan aja… abis itu ya tetep aja, malaria rutin berkunjung kayak orang wakuncar (istilahnya jadul banget deh…).
So, komunitas malaria alternatif ini terus berharap dunia kedokteran mampu menemukan obat yang benar-benar ampuh untuk membinasakan alien dalam tubuh ini…
Akhirnya Asuransi!
Puri kena malaria pertamanya di rimba. Dila ada kemungkinan operasi kangker. Cukup lega karena kartu asuransi kami sudah berfungsi kembali. Ada masalah kemarin, masalah kami tentu saja, ketika premi asuransi kami tiba-tiba naik dua kali lipat di tahun kedua ini. Seharusnya sudah dibayarkan bulan November. Tapi waktu itu, aku mencoba untuk nego dengan mengirim surat minta keringanan premi. Nggak ada tanggapan sampai awal tahun ini. Agak deg-degan juga. Aku terus berdoa, semoga tim kami sehat selalu…
Biaya rumah sakit mahal. Tahun 2006, banyak tim yang tumbang, bolak-balik bergantian masuk rumah sakit. Dengan keuangan lembaga yang mepet, nggak jarang kami tau diri dengan membayar kamar yang murah sehingga pelayanan kesehatannya pun kadang nggak terlalu baik. Atau kamar yang agak bagusan, tapi sharing biayanya dengan pribadi. Sedih rasanya, karena kami tidak bisa memberikan yang baik untuk volunteer lapangan padahal mereka sudah memberikan dedikasinya untuk komunitas. Akhir tahun 2006, kami memutuskan untuk memakai asuransi.
Asuransi membawa efek lain: akhirnya kami punya NPWP! Jujur, kami tidak mengerti NPWP dan tidak peduli. Yang penting ada asuransi. Karena perusahaan asuransi mengkategorikan kami sebagai perusahaan, maka kami harus punya NPWP. Dan memang asuransi sangat menolong sepanjang tahun 2007. Tapi ya itu, dengan resiko kerja lapangan dan intensitas masuk rumah sakit, premi untuk tahun kedua dinaikkan.
Surat permohonan keringanan premi tidak direspon. Akhirnya Butet menghubungi kerabatnya yang juga di asuransi itu. Langsung diurus, juga ke Wisnu – teman kami yang jadi agen asuransi. Maaf ya, jadi ngerepotin! Akhirnya kami mengajukan penurunan kelas. Yang tadinya sebagian besar di kelas 500ribu, jadi pukul rata 300ribu. Itu aja preminya malah naik nyampe dua kali lipat dibanding tahun lalu. Tapi dari pada tidak sama sekali…
Biaya rumah sakit mahal. Tahun 2006, banyak tim yang tumbang, bolak-balik bergantian masuk rumah sakit. Dengan keuangan lembaga yang mepet, nggak jarang kami tau diri dengan membayar kamar yang murah sehingga pelayanan kesehatannya pun kadang nggak terlalu baik. Atau kamar yang agak bagusan, tapi sharing biayanya dengan pribadi. Sedih rasanya, karena kami tidak bisa memberikan yang baik untuk volunteer lapangan padahal mereka sudah memberikan dedikasinya untuk komunitas. Akhir tahun 2006, kami memutuskan untuk memakai asuransi.
Asuransi membawa efek lain: akhirnya kami punya NPWP! Jujur, kami tidak mengerti NPWP dan tidak peduli. Yang penting ada asuransi. Karena perusahaan asuransi mengkategorikan kami sebagai perusahaan, maka kami harus punya NPWP. Dan memang asuransi sangat menolong sepanjang tahun 2007. Tapi ya itu, dengan resiko kerja lapangan dan intensitas masuk rumah sakit, premi untuk tahun kedua dinaikkan.
Surat permohonan keringanan premi tidak direspon. Akhirnya Butet menghubungi kerabatnya yang juga di asuransi itu. Langsung diurus, juga ke Wisnu – teman kami yang jadi agen asuransi. Maaf ya, jadi ngerepotin! Akhirnya kami mengajukan penurunan kelas. Yang tadinya sebagian besar di kelas 500ribu, jadi pukul rata 300ribu. Itu aja preminya malah naik nyampe dua kali lipat dibanding tahun lalu. Tapi dari pada tidak sama sekali…
Langganan:
Postingan (Atom)